Kamis, 21 April 2011

Asma


PENGERTIAN
Asma adalah penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon dari trachea dan bronkus terhadap bermacam –macam stimuli yang ditandai dengan penyempitan bronkus atau bronkhiolus dan sekresi yang berlebih – lebihan dari kelenjar – kelenjar di mukosa bronchus

II. ETIOLOGI
Faktor Ekstrinsik
Asma yang timbul karena reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh adanya IgE yang bereaksi terhadap antigen yang terdapat di udara (antigen – inhalasi ), seperti debu rumah, serbuk – serbuk dan bulu binatang
Faktor Intrinsik
Infeksi :
- virus yang menyebabkan ialah para influenza virus, respiratory syncytial virus (RSV)
- bakteri, misalnya pertusis dan streptokokkus
- jamur, misalnya aspergillus
· cuaca :
perubahan tekanan udara, suhu udara, angin dan kelembaban dihubungkan dengan percepatan
iritan bahan kimia, minyak wangi, asap rokok, polutan udara
emosional : takut, cemas dan tegang
aktifitas yang berlebihan, misalnya berlari

III. PATOLOGI
Asma ialah penyakit paru dengan cirri khas yakni saluran napas sangat mudah bereaksi terhadap barbagai ransangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan asma. Kelainan yang didapatkan adalah:
Otot bronkus akan mengkerut ( terjadi penyempitan)
Selaput lendir bronkus udema
Produksi lendir makin banyak, lengket dan kental, sehingga ketiga hal tersebut menyebabkan saluran lubang bronkus menjadi sempit dan anak akan batuk bahkan dapat sampai sesak napas. Serangan tersebut dapat hilang sendiri atau hilang dengan pertolongan obat.
Pada stadium permulaan serangan terlihat mukosa pucat, terdapat edema dan sekresi bertambah. Lumen bronkus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh darah, infiltrasi sel eosinofil dalam secret didlam lumen saluran napas. Jika serangan sering terjadi dan lama atau menahun akan terlihat deskuamasi (mengelupas) epitel, penebalan membran hialin bosal, hyperplasia serat elastin, juga hyperplasia dan hipertrofi otot bronkus. Pada serangan yang berat atau pada asma yang menahun terdapat penyumbatan bronkus oleh mucus yang kental.
Pada asma yang timbul akibat reaksi imunologik, reaksi antigen – antibody menyebabkan lepasnya mediator kimia yang dapat menimbulkan kelainan patologi tadi. Mediator kimia tersebut adalah:
a. Histamin
- Kontraksi otot polos
- Dilatasi pembuluh kapiler dan kontraksi pembuluh vena, sehingga terjadi edema
- Bertambahnya sekresi kelenjar dimukosa bronchus, bronkhoilus, mukosaa, hidung dan mata
b. Bradikinin
- Kontraksi otot polos bronchus
- Meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
- Vasodepressor (penurunan tekanan darah)
- Bertambahnya sekresi kelenjar peluh dan ludah
c. Prostaglandin
- bronkokostriksi (terutama prostaglandin F)

IV. MANIFESTASI KLINIK
Wheezing
Dyspnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot- otot asesori pernapasan
pernapasan cuping hidung
batuk kering ( tidak produktif) karena secret kental dan lumen jalan napas sempit
diaphoresis
sianosis
nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam pernapasan
kecemasan, labil dan penurunan tingkat kesadarn
tidak toleran terhadap aktifitas : makan, bermain, berjalan, bahkan bicara

V. STADIUM ASMA
Stadium I
Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk proksisimal, karena iritasi dan batuk kering. Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk
Stadium II
Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan berbusa. Pada stadium ini anak akan mulai merasa sesak napas berusaha bernapas lebih dalam. Ekspirasi memanjang dan terdengar bunyi mengi. Tampak otot napas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi supra sternal, epigastrium dan mungkin juga sela iga. Anak lebih senang duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat, sianosisi sekitar mulut, toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi supra sternal dan interkostal.
Stadium III
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat , aliran udara sangat sedikit sehingga suara napas hampir tidak terdengar.
Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan. Juga batuk seperti ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak meninggi.

VI. KOMPLIKASI
1. Status asmatikus
2. Bronkhitis kronik, bronkhiolus
3. Ateletaksis : lobari segmental karena obstruksi bronchus oleh lender
4. Pneumo thoraks
Kerja pernapasan meningkat, kebutuhan O2 meningkat. Orang asam tidak sanggup memenuhi kebutuhan O2 yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk bernapas melawan spasme bronkhiolus, pembengkakan bronkhiolus, dan m ukus yang kental. Situasi ioni dapat menimbulkan pneumothoraks akibat besarnya teklanan untuk melakukan ventilasi
5. Kematian

VII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Riwayat penyakit atau pemeriksaan fisik
Foto rontgen dada
Pemeriksaan fungsi paru : menurunnya tidal volume, kapasitas vital, eosinofil biasanya meningkat dalam darah dan sputum
Pemeriksaan alergi (radioallergosorbent test ; RAST)
Analisa gas darah – pada awalnya pH meningkat, PaCO2 dan PaO2 turun (alkalosis respiratori ringan akibat hiperventilasi ); kemudian penurunan pH, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 (asidosis respiratorik)

VIII. PENATALAKSANAAN
Pencegahan terhadap pemajanan alergi
Serangan akut dengan oksigen nasal atau masker
Terapi cairan parenteral
Terapi pengobatan sesuai program
- Beta 2-agonist untuk mengurangi bronkospasme, mendilatasi otot polos bronchial
Albuterol (proventil, ventolin)
Tarbutalin
Epinefrin
Metaprotenol
- Metilsantin, seperti aminofilin dan teofilin mempunyai efek bronkodilatasi
- Antikolinergik, seperti atropine metilnitrat atau atrovent mempunyai efek bronchodilator yang sangat baik
- Kortikosteroid diberikan secara IV (hidrokortison), secara oral (mednison), inhalasi (deksametason)
KONSEP KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Riwayat asthma atau alergi dan serangan asthma yang lalu, alergi dan masalah pernapasan
2. Kaji pengetahuan anak dan orang tua tentang penyakit dan pengobatan
3. Riwayat psikososial: factor pencetus, stress, latihan, kebiasaan dan rutinitas, perawatan sebelumnya
4. Pemeriksaan fisik
Pernapasan
- Napas pendek
- Wheezing
- Retraksi
- Takipnea
- Batuk kering
- Ronkhi
Kardiovaskuler
Takikardia
Neurologis
Kelelahan
Ansietas
Sulit tidur
Muskuloskeletal
Intolerans aktifitas
Integumen
Sianosis
pucat
Psikososial
Tidak kooperatif selama perawatan
Kaji status hidrasi
- Status membran mukosa
- Turgor kulit
- Output urine
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan napas b.d. bronkospasme dan udema mukosa
Kelelahan b.d. hipoksia dan peningkatan kerja pernapasan
Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. distress GI
Resiko kekurangan volume cairan b.d. meningkatnya pernapsan dan menurunnya intake oral
Kecemasan b.d. hospitalisasi dan distress pernapasan
Perubahan proses keluarga b.d. kondisi kronik
Kurang pengetahuan b.d. proses penyakit dan pengobatan]

III. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan napas b.d. bronkospasme dan udema mukosa
Tujuan :
- anak akan menunjukkan perbaikan pertukaran gas ditandai dengan :
tidak ada wheezing dan retraksi
batuk menurun
warna kulit kemerahan
- anak tidak menunjukkan gangguan ketidakseimbangan asam basa yang ditandai dengan saturasi oksigen ± 95 %
Intervensi:
a. Kaji RR, auskultasi bunyi napas
R/: sebagai sumber data adanya pewrubahan sebelum dan sesudah perawatan diberikan
b. Beri posisi high fowler atau semi-fowler
R/; mengembangkan ekspansi paru
c. Dorong anak untuk latihan napas dalam dan batuk efektif
R/: membantu membersihkan mucus dari p[aru dan napas dalam memperbaiki oksigenasi
d. Lakukan suction jika perlu
R/: membantu mengeluarkan secret yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak sendiri
e. Lakukan fisioterapi
R/: membantu pengeluaransekresi, menmingkatkan ekspansi paru
f. Berikan oksigen sesuai program
R/ : memperbaiki oksigenasi dan mengurangi sekresi
Monitor peningkatn pengeluaran sputum
R/: sebagai indikasi adanya kegagalan pada paru
h. Berikan bronchodilator sesuai indikasi
R/: otot pernapasan menjadi relaks dan steroid mengurangi inflamasi

2. Kelelahan b.d. hipoksia dan peningkatan kerja pernapasan
Tujuan : Anak menunjukkan penurunan kelelahan ditandai dengan tidak iritabel, dapat berpartisipasi dan peningkatan kemampuan dalam beraktifitas
Intervensi :
Kaji tanda – tanda hipoksia / hypercapnea ; kelelahan, agitasi, peningkatan HR, peningkatan RR
R/: deteksi dini untuk mencegah hipoksia dapat mencegah keletihan lebih lanjut
Hindari seringnya melakukan intervensi yang tidak penting yang dapat membuat anak lelah, berikan istirahat yang cukup
R/: Istirahat yang cukup dapat menurunkan stress dan meningkatkan kenyamanan
Minta orang tua untuk selalu menemani anak
R/: Menurunkan ketakutan dan kecemasan
Berikan istirahat cukup dan tidur 8 – 10 jam tiap malam
R/: istirahat cukup dan tidur cukup menurunkan kelelahan dan meningkatkan resistensi terhadap infeksi
Ajarkan teknik manajemen stress
R/ : Bronkospasme mungkin disebabkan oleh emosional dan stress

3. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. distress GI
Tujuan : Anak akan menunjukkan penurunan distress GI ditandai dengan:
Penurunan nausea dan vomiting, adanya perbaikan nutrisi / intake

Intervensi:
a. Berikan porsi makan kecil tapi sering 5 – 6 kali sehari dengan makanan yang disukainya
R/: makanan kecil tapi sering menyediakan energi yang dibutuhkan , lambung tidak terlalu penuh, sehingga memberikan kesempatan untuk penyerapan makanan. Makanan yang disukai mendporong anak untuk makan dan meningkatkan intake
b. Berikan makanan halus, rendah lemak, gunakan warna
R/: Makanan berbumbu dan tinggi lemak dapat meningkatkan distress pada GI sehingga sulit dicerna
c. Anjurkan menghindari makanan yang menyebabkan alergi
R/:Dapat menimbulkan serangan akut pada anak yang sensitive

Resiko kekurangan volume cairan b.d. meningkatnya pernapsan dan menurunnya intake oral
Tujuan :
Anak dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat ditandai dengan turgor kulit elastis, membrane mukosa lembab, intake cairan sesuai dengan usia dan berat badan, output urine : 1-2 ml/kg BB/jam
Intervensi:
a. Kaji turgor kulit, monitor urine, output tiap 4 jam
R/: untuk mengetahui tingkat hidrasi dan kebutuhan cairannya
b. Pertahankan terapi parenteral sesuai indikasi dan monitor kelebihan cairan
R/: kelebihan cairan dapat menyebabkan udema pulmonar
c. Setelah fase akut, anjurkan anak dan orangtua untuk minum 3-8 gelas / hari, tergantung usia dan berat badan anak
R/: anak membutuhkan cairan yang cukup untuk mempertahankan hidrasi dan keseimbangan asam basa untuk mencegah syok

Kecemasan b.d. hospitalisasi dan distress pernapasan
Tujuan :
Kecemasan menurun, ditandai dengan anak tenang dan dapat mengekspresikan perasaannya

Intervensi:
a. Ajarkan teknik relaksasi; latihan napas dalam, imajinasi terbimbing
R/: pengalihan perhatian selama episode asma dapat menurunkan ketakutan dan kecemasan
b. Berikan terapi bermain sesuai indikasi
R/: terapi bermain dapat menurunkan efek hospitalisasi dan kecemasan
c. Informasikan tentang perawatan, pengobatan dan kondisi anak
R/: menurunkan rasa takut dan kehilangan control akan dirinya

DAFTAR PUSTAKA
Betz L. Cecily. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. 2002
Dina Dr,dr,. Penatalaksanaan Penyakit Alergi. Airlangga University Press. Surabaya. 1993
Speer Kathleen Morgan.Pediatric Care Planning Ashwill, third edition. Pediatric Nurse Practitioner Childrens Medical Center of Dallas. Springhouse Corporation. Springhouse Pennsylvania. 1999
Ngastiyah. Perawatan anak Sakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997
Corwin, J. Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Jakarta. 2000

Suriadi, SKp., Rita, SKp. Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 1. CV Sagung Seto. Jakarta, 2001

Artritis reumatoid


I.1 Latar Belakang
Artritis reumatoid merupakan kasus panjang yang sangat sering diujikan. Bisanya terdapat banyak tanda- tanda fisik. Diagnosa penyakit ini mudah ditegakkan. Tata laksananya sering merupakan masalah utama. Insiden pucak dari artritis reumatoid terjadi pada umur dekade keempat, dan penyakit ini terdapat pada wanita 3 kali lebih sering dari pada laki- laki. Terdapat insiden familial ( HLA DR-4 ditemukan pada 70% pasien ).
Artritis reumatoid diyakini sebagai respon imun terhadap antigen yang tidak diketahui. Stimulusnya dapat virus atau bakterial. Mungkin juga terdapat predisposisi terhadap penyakit.
 I.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Artritis Reumatoid, dan sebagai bahan literatur bagi mahasiswa keperawatan.
1.2.2. Tujuan Khusus
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dan mahasiswa keperawatan dalam :
1.      Mengidentifikasi tanda dan gejala Artritis Reumatoid.
2.      Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada penderita Artritis Reumatoid.
3.      Mencegah untuk tidak terjadinya komplikasi pada penderita Artritis.
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 2.1. PENGERTIAN
Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya dikarekteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut.
( Susan Martin Tucker.1998 )
Artritis Reumatoid ( AR ) adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai mengenai membran sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan.
( Diane C. Baughman. 2000 )
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.
( Arif Mansjour. 2001 )
 2.2. INSIDEN
AR terjadi antara usia 30 tahun dan 50 tahun dengan puncak insiden antara usia 40 tahun dan 60 tahun. Wanita terkena dua sampai tiga kali lebih sering dari pada pria.
 2.3. ETIOLOGI
AR adalah suatu penyakit otoimun yang timbul pada individu – individu yang rentang setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak diketahui. Faktor pencetus mungkin adalah suatu bakteri, mikoplasma, virus yang menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara antigenis. Biasanya respon antibodi awal terhadap mikro-organisme diperatarai oleh IgG. Walaupun respon ini berhasil mengancurkan mikro-organisme, namun individu yang mengidap AR mulai membentuk antibodi lain biasanya IgM atau IgG, terhadap antibodi Ig G semula. Antibodi ynng ditujukan ke komponen tubuh sendiri ini disebut faktor rematoid ( FR ). FR menetap di kapsul sendi, dan menimbulkan peradangan kronik dan destruksi jaringan AR diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun.

2.4. PATOFISIOLOGI
Faktor genetik, infeksi

Sasaran primer Sinovium

Sinovitis Proliferatif





Pelepasan kolagenesa & produksi  lisozim o/ fagosit    Pembengkakan, kekakuan pergelangan tangan & sendi jari tangan
                                                                                                    
Erosi sendi & periartikularis                     P’katan tekanan sendi distensi serta putusnya kapsula & ligamentum








            Kista dan kolaps sendi                   Sublaksasi sendi MCP & p’kembangan penyimpangan ulna klasik sering timbul                        




                                                             Hiperekstensi / deformitas fleksi bisa b’kembang dlm sendi IP ibu jari tangan,       sendi PIP jr tgn, sendi MCP & IP jr tgn

                                                                          Tenosinovitis, jari tng pelatuk, rupture tendo & sindroma terowongan kaspal lazim di temukan

2.5. MANIFESTASI KLINIS
  1. Ditetapkan dengan tahapan dan keparahan penyakit.
  2. Nyeri sendi, bengkak, hangat, eritema, dan kurang berfungsi adalah gambaran klinis yang klasik.
  3. Palpitasi persendian menunjukan jaringan spon atau boggi.
  4. Seringkali dapat diaspirasi cairan dari sendi yang mengalami pembengkakan.

 Pola karakteristik dari persendian yang terkena 
  1. Mulai pada persendian kecil ditangan, pergelangan , dan kaki.
  2. Secara progresif menenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular.
  3. Awitan biasnya akut, bilateral, dan simetris.
  4. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, dan nyeri ; kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.
  5. Deformitasi tangan dan kaki adalah hal yang umum.
 Gambaran Ekstra-artikular
  1. Demam, penurunan berat badan, keletihan, anemia
  2. Fenomena Raynaud.
  3. Nodulus rheumatoid, tidak nyeri tekan dan dapat bergerak bebas, di temukan pada jaringan subkutan di atas tonjolan tulang.
 2.6. EVALUASI DIAGNOSIS
  1. Beberapa faktor yang menujang diagnosa AR: nodulus reumatoid, inflamasi sendi, temuan laboraturium.
  2. Faktor reumatoid ( FR ) terdapat lebih dari 80% pada darah pasien.
  3. jumlah sel darah merah dan komponen komplemen C4 menurun.
 2.7. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum yang lengkap penting di lakukan. Disamping menilai adanya sinovasi pada setiap sendi, perhatian juga hal –hal berikut ini :
  1. Keadaan umum – komplikasi steroid, berat badan.
  2. Tangan – meliputi vaskulitasi dan fungsi tangan.
  3. Lengan – siku dan sendi bahu, nodul rematoid dan pembesaran kelenjar limfe aksila.
  4. Wajah. Periksa mata untuk sindroma Sjorgen, skleritis, episkleritis, skleromalasia perforans, katarak, anemia dan tanda – tanda hiperviskositas pada fundus. Kelenjar parotis membesar ( sinroma Sjogren ). Mulut ( kering, karies dentis, ulkus ), suara serak, sendi temporomandibula ( krepitus ). Catatan : artritis rematoid tidak menyebabkan iritasi.
  5. Leher – adanya tanda – tanda terkenanya tulang servikal.
  6. Toraks. Jantung ( adanya perikarditis, defek konduksi, inkompetensi katup aorta dan mitral ). Paru – paru ( adanya efusi pleural, fibrosis, nodul infark, sindroma Caplan ).
  7. Abdomen – adanya splenomegali dan nyeri tekan apigastrik.
  8. Panggul dan lutut.
  9. Tungkai bawah – adanya ulkus, pembengkakan betis ( kista Baker yang reptur ) neuropati, mononeuritis  multipleks dan tanda – tanda kompresi medulla spinalis.
  10. Kaki.
  11. Urinalisis untuk protein dan darah, serta pemeriksaan rektum untuk menentukan adanya darah.
 2.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menyokong diagnosa (ingat bahwa ini terutama merupakan diagnosa klinis)
  1. Tes serologik
(a) faktor rematoid – 70% pasien bersifat seronegatif.
             Catatan: 100% dengan factor rematoid yang positif jika terdapat nodul atasindroma                                       
             Sjogren
             (b) Antibodi antinukleus (AAN)- hasil yang positif terdapat pada kira-kira 20 kasus
       2.  Foto sinar X pada sendi-sendi yang terkena. Perubahan-perubahan yang dapat di te 
            mukan adalah:
            (a) pembekakan jaringan lunak;        
            (b) penympitan rongga sendi;
            (c) erosi sendi;
            (d) osteoporosis juksta artikuler;

            
Untuk menilai aktivitas penyakit:
1.      Erosi progresif pada foto sinar X serial.
2.      LED. Ingat bahwa diagnosis banding dari LED yang meningkat pada artritis reumatoid meliputi :
(a)    penyakit aktif ;
(b)    amiloidosis ;
(c)    infeksi ;
(d)    sindroma Sjorgen ;
3.      Anemia – berat ringannya anemia normakromik biasanya berkaitan dengan aktifitas.
4.      Titer factor rematoid – makin tinggi titernya makin mungkin terdapat kelainan ekstra artikuler. Faktor ini terkait dengan aktifitas artritis.
 2.9. KOMPLIKASI
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.
Komlikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
 2.10. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari penatalaksanaan termasuk penyuluhan, keseimbangan antara istirahat dan latihan, dan rujukan lembaga di komunitas untuk mendapatkan dukungan.
  1. AR dini : penatalaksanaan pengobatan termasuk dosis terapeutik salisilat atau obat – obat antiinflamasi nonsteroid ( NSAIDS ); antimalaria emas, pensilamin, atau sulfasalazin, methotreksat; analgetik selama periode nyeri hebat.
  2. AR sedang , erosit: program formal terapi okupasi dan terapi fisik.
  3. AR persisten, erisif; pembedahan rekonstruksi dan kortikosteroid.
  4. AR tahap lanjut yang tak pulih: preparat immunosupresif, seperti metotreksat, siklosfosfamid, dan azatioprin.
  5. Pasien AR sering mengalami anoreksia, penurunan berat badan, dan anemia, sehingga membutuhkan pengkajian riwayat diit yang sangat cermat untuk mengidntifikasi kebiasaan makan dan makanan yang disukai. ( kortikosteroid dapat menstimulasi napsu makan dan menyebabkan penambahan berat badan ).       
 2.11. PROGNOSIS
Perjalanan penyakit artritis reumatoid sangat bervariasi, bergantung pada ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu lama. Sekitar 50 – 70% pasien artritis reumatoid akan mengalami prognosis yang lebih buruk. Golongan ini umumya meninggi 10 – 15 tahun lebih cepat dari pada orang tanpa arthritis rheumatoid. Penyebab kematiannya adalah infeksi, penyakit jantung, gagal pernapasan, gagal ginjal, dan penyakit saluran cerna. Umumnya mereka memiliki keadaan umum yang buruk, lebih dari 30 buah sendi yang mengalami peradangan, dengan manifestasi ekstraartikuler, dan tingkat pendidikan yang rendah. Golongan ini memerlukan terapi secara agresif dan dini karena kerusakan tulang yang luas dapat terjadi dalam 2 tahun pertama.
 
BAB III
PROSES KEPERAWATAN
 3.1. PENGKAJIAN
  1. Kaji citra diri pasien yang berhubungan dengan perubahan muskuloskletal dan tetapkan apakah pasien mengalami keletihan yang tidak lazim, kelemahan umum, nyeri, kaku pada pagi hari, demam, atau anoraksia.
  2. Kaji sistem kardiovaskular, pulmonal, dan renal.
  3. Kaji persendian dengan pengamatan, palpasi, penyelidikan adanya nyeri tekan, bengkak , dan kemerahan pada sendi yang terkena.
  4. Kaji mobilitas sendi, batasan gerak, dan kekuatan otot.
  5. Fokuskan pada pengidentifikasi masalah dan faktor – faktor pasien.
  6. Kaji kepatuhan terhadap pengobatan dan penatalaksanaan diri.
  7. Kumpulan informasi mengenai pemahaman pasien, motivasi, pengetahuan, kemampuan koping, penglaman masa lalu, persepsi dan ketakutan yang tidak diketahui.
 3.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
  1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi, kerusakan jaringan, dan immobilitas sendi.
  2. Kerusakan immobilitas fisik yang berhubungan dengan keterbatasan gerakan sendi.
  3. Gangguan konsep diri yang berhubungan dengan ketergantungan fisik dan psikologis dari penyakit kronis dan kehilangan kebebasan.
  3.3. INTERVENSI
DX I :
  1. Kaji tingkat nyeri
  2. Ajarkan dan lakukan teknik – teknik penatalaksanan nyeri untuk penatalaksanaan jangka pendek segera ( misal gunakan kompres panas dan dingin, istirahat, dan analgesik ).
  3. Ajarkan tentang penatalaksaan nyeri jangka panjang ( misal penggunaan obat – obat antiinflamasi, menetapkan regimen latihan untuk mempertahankan mobilitas sendi, dan teknik – teknik relaksasi ).
  4. Berikan tindakan yang menghasilkan rasa nyaman ketika memberikan perawatan.
  5. Buat pengharapan yang realitis sehingga pasien dan orang terdekat mengenali bahwa nyeri dapat dikontrol tergantung pada aktivitas penyakit.
 DX II :
  1. Hilangkan nyeri menetap dan kekakuan pada pagi hari untuk meningkatkan kemampuan mobilitas dan perawatan diri pasien.
  2. Bantu dan ajarkan dan / atau latihan rentang gerak aktif setelah tindakan kompres panas.
  3. Kembangkan dan ajarkan rencana program latihan setiap hari
  4. Observasi toleransi pasien terhadap program latihan.
  5. Dorong aktivitas perawatan diri dan kemandirian.
  6. Pertahankan periode istirahat terencana.
  7. Pertahankan lingkungan yang aman.
DX III :
  1. Coba untuk memahami reaksi emosional pasien terhadap penyakit.
  2. Beri semangat untuk melakukan komunikasi sehingga pasien dan keluarga dapat mengungkapkan perasaan, persepsi, dan ketakutannya yang berhubungan dengan penyakit.
  3. Beri dorongan pada pasien dan keluarga untuk patuh terhadap program penatalaksanaan sehingga memungkinkan untuk mencapai hasil yang lebih positif.
  4. Anjurkan mengungkapkan rasa takut dan ansietes terhadap proses penyakit.
  5. Bantu pasien dalam memilih keterampilan.
  6. Terima perubahan prilaku: menyangkal, ketidakberdayaan, ansietas, ketergantungan.
  7. Bersikap suportif tetapi tegas dalam menyusun tujuan.
  8. Tingkatkan perawatan diri dan libatkan dalam perencanaan perawatan.
  9. Dorong kemandirian dan berikan penghargaan trhadap penyelesaian tugas.
  10. Modivikasi lingkungan dan sediakan waktu untuk pasien mencapai tujuan.
  11. Diskusikan perlunya pembatasan dan perubahan gaya hidup ; berikan empati dan pemahaman.

Anemia


Anemia, biasa didefenisikan sebagai konsentrasi hemoglobin dalam darah kurang daripada 13,5 g/dl pada laki-laki dewasa dan kurang daripada 11,5 g/dl pada wanita dewasa, walaupun orang memakai 14g/dl dan 12 g/dl sebagai batas terendah normal pada orang dewasa. Dari umur 3 bulan sampai akil balik, kurang daripada 11,0 g/dl menunjukkan anemia. Karena bayi baru lahir mempunyai kadar hemoglobin tinggi, 15,0 g/dl dianggap sebagai batas terendah pada waktu lahir. Penurunan hemoglobin biasanya disertai dengan penurunan jumlah sel darah merah dan PCV (packed cell volume).

Ada banyak penyebab anemia, termasuk defesiensi zat gizi, kelainan primer pada sumsum tulang dan eritrosit, dan anemia sekunder terhadap penyakit non-hematologik. Terapi anemia yang berhasil tergantung pada diagnosa tepat dari penyebab yang mendasari anemia pada setiap pasien secara individual.
Telah banyak dikemukakan tentang klasifikasi anemia, misalnya kegagalan produksi sel darah merah atau kehilangan berlebihan atau penghancuran sel darah merah, telah dipergunakan, klasifikasi yang paling bermanfaat sekarang dimana perlengkapan elektronik modern mengukur dengan tepat jumlah parameter ukuran sel darah merah dan kadar hemoglobin adalah yang berdasarkan pada indeks sel darah merah.

Klasifikasi anemia dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu :
1. Anemia mikrositik, hipokrom misalnya : anemia defesiensi besi, dan talasemia.
2. Anemia normositik, normokrom misalnya : setelah kehilangan darah akut, anemia hemolitik dan anemia sekunder, kegagalan sumsum tulang.
3. Anemia makrositik, misalnya anemia megaloblastik.
Gejala yang umumnya dialami oleh pasien anemia yaitu biasanya sesak napas (khususnya ketika latihan fisik), kelemahan, letargi (mengantuk), palpitasi dan sakit kepala. Pada orang yang lebih tua gejala payah jantung, angina pektoris, kaludikasio intermitten, dan kebingungan dapat ada. Gangguan penglihatan yang disebabkan perdarahan retina dapat menjadi komplikasi anemia yang sangat berat, khususnya yang timbul cepat (rapid onset).
Dalam makalah ini kita akan membahas lebih jauh mengenai anemia defesiensi besi. Mengenai defenisi, penyebab, gejala-gejala, serta terapinya yang cocok serta tepat.
Defenisi Anemia Defesiensi Besi
Anemia defesiensi besi adalah salah satu penyakit anemia pada orang dewasa yang paling sering disebabkan oleh kehilangan darah, atau merupakan tipe anemia dengan tingkat volume sel darah merah yang sangat rendah dari kadar sel darah merah yang normal. (1:143, 2: 731)
Besi merupakan satu dari unsur terbanyak pada kulit bumi, akan tetapi defesiensi besi merupakan sebab terbanyak anemia. Ini disebabkan tubuh mempunyai kemampuan terbatas untuk menyerap besi tetapi sering kehilangan besi secara berlebihan karena perdarahan.(3:29)
Seharusnya faktanya adalah kebanyakan sel darah merah membuat darah lebih kecil dari nilai normal dan diisi dengan hemoglobin yang sangat buruk. Perubahan ini secara cepat banyaknya mengurangi volume sel darah, hemoglobin sel darah yang rendah, dan apa yang lebih signifikan pengurangan konsentrasi sel darah hemoglobin ada di bawah 30 persen. Hanya dalam tipe anemia ini berarti konsentrasi hemoglobin sel darah menurun secara signifikan dari kadar normalnya. (2:731)
Hemoglobin mengandung kira-kira dua pertiga besi tubuh. Jumlah besi yang dibutuhkan setiap hari untuk mengganti kehilangan dari tubuh dan pertumbuhan bervariasi dengan umur dan jenis kelamin; jumlah tertinggi pada kehamilan dan pada masa adolesen dan wanita yang menstruasi. Oleh karena itu golongan ini, khususnya cenderung menderita defesiensi besi bila ada tambahan kehilangan besi atau intake berkurang dalam jangka panjang. (3: 33)

Gambaran Klinis
Bila defesiensi besi berkembang, cadangan RE (hemosiderin dan ferritin) menjadi kosong sama sekali sebelum anemia terjadi. Pada stadium dini biasanya, tidak ada abnormalitas klinis, pasien mungkin mengalami gejala dan tanda umum anemia dan juga memperlihatkan glosistis (radang lidah) yang tidak nyeri, stomatitis angularis, kuku sendok rapuh (koilonikia), disfagia yang disebabkan “pharyngeal web” (sindroma Peterson-Kelly atau Plummer-Vinson) dan nafsu makanan yang tidak biasa (pica). Gastritis atrofi dan sekresi lambung yang berkurang, biasanya reversibel dengan terapi besi, terjadi pada sebagian pasien. Penyebab perubahan sel epitel tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan penurunan besi dalam enzim yang mengandung besi. (3:33)

Penyebab
Penyakit ini dapat disebabkan oleh beberapa hal misalnya :
1. Kehilangan darah, yang kronis dari uterus atau dari traktus gastrointestinalis, varises eosfagus, hiatus hernia, ulkus peptikum, minum aspirin, gastrektomi persial, karsinoma lambung (saekum), kolon (rektum), cacing tambang angiodisplasia, kolitis, wasir, divertikulosis, serta perdarahan haid. Kebutuhan akan besi meningkat selama masa bayi, remaja, kehamilan dan laktasi pada wanita yang menstruasi bertanggung jawab terhadap seringnya defesiensi besi laten (kosongnya cadangan besi tanpa anemia) dan terhadap resiko tinggi pada golongan khusus ini untuk menderita anemia.
2. Kebutuhan meningkat , pada saat bayi baru lahir mempunyai cadangan besi yang diambil dari pemecahan sel darah yang berlebihan. Dari 3 sampai 6 bulan terdapat kecenderungan untuk keseimbangan besi negatif disebabkan karena pertumbuhan. Pada kehamilan dimana lebih banyak besi dibutuhkan untuk bertambahnya sel darah merah ibu sekitar 35, pemindahan 300 mg besi ke janin, dan karena kehilangan darah pada persalinan. juga pada prematuritas.
3. Malabsorpsi, seorang pria dewasa normal dapat menderita anemia defesiensi besi semata-mata disebabkan diet buruk atau malabsorpsi yang menyebabkan tak ada masuk (intake) besi sama sekali, dalam praktek klinis, intake yang tidak cukup atau malabsorpsi jarang merupakan satu-satunya penyebab anemia defesiensi besi. Walaupun demikian, penyakit “coeliac”. gastrektomi parsial atau total dan gastritis atrofi, dapat mengarahkan defesiensi besi.
4. Diet buruk, diet berkualitas rendah, sebagian besar sayur-sayuran yang dimakan pada banyak negara terbelakang dapat juga menghasilkan latar belakang defesiensi besi laten. (3: 35)
Tubuh orang normal dewasa mengandung sekitar 4.000 mg besi. Sekitar 60% total dari besi ini ada dalam sirkulasi darah, dimana 1 ml sel darah merah mengandung sekitar 1 mg besi. Sisa besi tersebut disimpan sebagai ferritin atau hemosiderin, terutama di dalam hati dan sel retikuloendotelial dari sumsum tulang. (4:275)
Tiap hari, 20-25 ml sel darah merah dirombak sebagai hasil normal penuaan sel darah. Selama proses ini berlangsung sekitar 1 mg besi hlang dan diekskresikan melalui urine, saluran empedu, dan sekresi lain. Sisanya 19 sampai 24 mg besi digunakan kembali untuk produksi lebih banyak hemoglobin dalam formasi baru sel darah merah. Orang dewasa normal menyerap 5-10% besi dalam dietnya. Ini menyediakan 1 sampai 2 mg perhari dan mengganti kerugian untuk kebutuhan normal sehari-hari yang hilang selama pergantian sel darah. (4:275)
Dari diskusi ini dapat dilihat, kalau ada kebutuhan terhadap peningkatan kebutuhan besi pada bayi, kehamilan, atau kehilangan darah berlebihan, anemia defesinsi besi tidak akan terjadi. Saat defesiensi besi terjadi ia berkembang dalam tiga tahap yaitu :
1. Langkah pertama, yaitu pengosongan besi ketika besi sedang digunakan oleh sel darah merah pada kecepatan yang tinggi (selama masa pertumbuhan dan perdarahan) dan diet (intake) besi tidak cukup untuk menjaga dengan meningkatnya penggunaan. Besi yang disimpan kemudian akan diperlukan.
2. Defesiensi besi eritropoiesis lalu mengambil tempat, dimana penyimpanan besi menjadi kehabisan tenaga dan anemia tidak akan muncul
3. Anemia defesiensi besi, lalu berhasil, dimana masukannya tidak memenuhi tuntutan tempat penyimpanan dikosongkan dan anemia muncul serta dapat dideteksi. (4:275)
Manifestasi utama dari defesiensi besi adalah anemia yang karakteristik. Sel darah merahnya kecil, pucat dan bentuknya tidak menentu ; menunjukkan anemia hipokromik mikrositik atau anemia defesiensi besi. Tanda sumsum sel darah merah mungkin menjadi pucat dan usang dimakan. Di bawah sinar ultraviolet sel mengalami fluorosensi karena banyak akumulasi porpirin besi yang bebas serta sifatnya yang abnormal. (5:46)
Dalam defesiensi besi persediaan besi berkurang karena transfer besi dari tempat persediaannya menuju tanda sel darah. Kehilangan persediaan besi adalah perwujudan klinis defesiensi besi yang sangat penting sebagai akibat anemia yang mengindikasikan ketiadaan sumsum besi atau terjadi pengurangan jumlah atau tingkat serum ferritin. (5:47)
Terapi Anemia Defesiensi Besi
Terapi penyakit ini dapat dilakukan dalam beberapa metode yaitu :
1. Preparat Zat Besi Oral, merupakan terapi yang disukai untuk kebanyakan pasien dengan anemia defesiensi zat besi. Karena yang diabsorpsi paling efisien adalah zat besi dalam bentuk fero, maka hanya garam-garam ferolah yang harus dipakai. Fero sulfat, fero glukonat, dan fero fumarat semuanya efektif dan tidak mahal. Berhasilnya terapi anemia defesiensi besi dengan preparat besi oral akan mengakibatkan retikulositosis yang cepat dalam waktu kira-kira satu minggu, peningkatan kadar hemoglobin yang berarti dalam 2-4 minggu, dan perbaikan anemia yang sempurna dalam 1-3 bulan. Terapi harus dilanjutkan selama 3-6 bulan untuk mengisi kembali cadangan besi tubuh. Kegagalan untuk berespon terhadap terapi besi oral dapat disebabkan oleh kesalahan diagnosa (anemia karena penyebab lain, bukan karena defesiensi besi), kehilangan darah yang terus-menerus, adanya keadaan lain yang menekan pembentukan eritrosit, atau kegagalan pasien untuk menelan atau mengabsorpsi besi oral tersebut.
2. Besi Parenteral, hanya boleh dipakai untuk menterapi pasien yang terbukti menderita anemia defesiensi besi yang tidak dapat mentolerir atau mengabsorpsi besi oral, dan pasien dengan kehilangan darah kronis ekstensif yang tidak dapat mempertahankan kadar hemoglobin normal dengan besi oral saja. Ini termasuk pasien dengan keadaan pasca gastrektomi dan reseksi usus halus sebelumnya, penyakit usus inflamantoris, sindrom malabsorpsi, dan perdarahan berat kronis dari lesi yang tidak dapat direseksi seperti yang terjadi pada teleangiektasia hemoragik herediter. Dekstran besi (Imferon) merupakan preparat yang sekarang tersedia untuk terapi parenteral anemia defesiensi besi. Ia merupakan suatu kompleks stabil dari fero hidroksida dan dekstran berberat molekul rendah, yang mengandung 50 mg besi elemental per ml larutan. Efek samping terapi besi parenteral meliputi nyeri setempat dan warna cokelat pada tempat suntikan, sakit kepala, pusing, demam, artralgia, nausea, vomitus, nyeri punggung, flushing, urtikaria, bronkospasme, dan jarang-jarang anfilaksis dan kematian. Karena kemungkinan reaksi hebat seperti itu, test dose dan pemberian infus dekstran besi selanjutnya harus dilakukan di bawah pengawasan medis yang terus menerus.
DAFTAR PUSTAKA
Watts, H, David. Terapi Medik ( Handbook of Medical Treatment ). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1984
2. Wintrobe, Maxell,M. Clinical Hematology. Philadelphia : Lea & Febiger, 1961.
3. Darmawan, Iyan. Kapita Selekta Haematologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1989.
4. Brown, Barbara, A. Hematology : Principles and Procedures. Philadelphia : Lea & Febiger, 1988.
5. Babior, Bernard, M., Stossel, Thomas, P.Hematology a Pathophysiological Approach. New Yo

A R D S


Sering merupakan kelanjutan dari shock paru-paru, kongesti atelektasis, post traumatic paru-paru, post infusion paru, dan ventilasi paru.
Kondisi akut paru-paru yang mengakibatkan macam-macam perubahan patofisiologi dalam paru.
Menyerupai perubahan pada IRDS, perbedaannya terletak pada penurunan surfaktan akibat dari kerusakan paru.
Kliennya umumnya masih muda yang sebelumnya dia sehat.
Jenis ketidakstabilan akut, baik langsung atau tidak langsung berperan dalam menimbulkan syndrom.
Keadaan yang langsung :
Menghirup racun iritan
Infeksi diffusi alveolar
Darah yang beracun.
Aspirasi virus pneumonia.
Hampir tenggelam dan trauma dada.
Keadaan yang tidak langsung :
Trauma dan shock karena pembedahan
Sepsis dengan pelepasan endotoksin
Pembekuan darah intravaskuler
Transfusi darah massive
Reaksi transudasi

Penyakit Yang Dapat Menyebabkan ARDS :
Pulmonary :
Virus pneumonia
Fungi pneumonia
Pneumocystis carinii
Military tuberculosis
Legionaire’s pneumonia
Radiation pneumonitis
Contusio paru
Cairan aspirasi (gastric, tenggelam, hydrocarbon, ethylene glycol)
Inhalasi racun (rokok, kimia corrosive, O2 konsentrasi meningkat, amniotic fluid embolic.
Non pulmonary :
Shock (traumatic, hemorrhagic, bacterial, pneumonia septic)
Emboli lemak
Trauma kepala
Trauma non thoraks
Pancreatitis
Uremia
Drug overdose (heroin, methadone barbiturat).
Massive blood transfusion
Reaksi transfusi
Pembekuan darah intravaskuler
By pass cardiopulmonary
Penambahan tekanan intrakranial
Cairan overload
Eclampsia
Gejala defisiensi autoimmune

Patofisiologi.
Banyak teori yang menerangkan patogenesis dari syndrom yang berhubungan dengan kerusakan awal paru-paru yang terjadi dimembran kapiler alveolar.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat masuknya cairan ke dalam ruang interstitial, seolah-olah dipengaruhi oleh aktifitas surfaktan. Akibatnya terjadi tanda-tanda atelektasis. Cairan juga masuk dalam alveoli dan mengakibatkan oedema paru.
Plasma dan sel darah merah keluar dari kapiler-kapiler yang rusak, oleh karena itu mungkin perdarahan merupakan manifestasi patologi yang umum.

Kriteria untuk diagnosa ARDS :
Klinik
Keadaan katastropik : paru atau bukan paru
Eksklusi : Penyakit paru kronis, keadaan abnormal ventrikel kiri.
Distress pernafasan : Tachypnea > 20 x/menit, susah bernafas.
Radiografi
Difusi pulmonal menyebar
Infiltrasi interstitial (awal)
Infiltrasi alveoli (lanjut/akhir)
Fisiologi
Hipoksemia refractory. Pa O2 60 %
Kompliance paru rendah 1000 gr)
Congestive atelektasis
Membran hyaline
Fibrosis

PENGKAJIAN
Gejala terjadi tiba-tiba dalam 2 – 3 hari sesudah trauma atau kesakitan, pada orang muda yang biasa mempunyai riwayat sakit paru-paru.
Tanda-tanda utama manifestasi klinik:
Dyspnea
Tachicardia
Cyanosis dengan atau tanpa retraksi intercostals
 refractory hypoxemia.
® O2 C ®Hypoksimia.
Hypotensia/bradicardia atau hipertension/tachicardia.
Dysritmia
Tanda-tanda adanya asidosis metabolic dan respiratorik
ß
menegakkan diagnosis:
 adanya kesulitan memperoleh pemenuhan ventilasi
®Status klinik klien  yang adekuat (sehingga penurunan pemenuhan ventilasi yang meningkatkan  menurunkan kapasitas vital paru-paru infiltrasi®kekakuan paru-paru)  alveolar.
Diagnosa Keperawatan
1.Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kurangnya complain paru dan kecemasan.
2.Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penambahan shunt dan ventilasi – perfusi terganggu.
3.Tidak efektifnya jalan napas berhubungan dengan immobilisasi dan jalan napas buatan.
4.Kurangnya cardiac output berhubungan dengan tingginya PEEP (Positive  mengetahui atau berguna untuk memenuhi
®End Expiratory Pressure)  kebutuhan ventilasi paru.
5.Potensial injury berhubungan dengan barotrauma atau tidak aktifnya aliran ventilator.
6.Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penambahan (peningkatan) permiabilitas membran pulmonal dan kelebihan sekresi ADH.
7.Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan jalan napas buatan dan kelumpuhan.
8.Perubahan nutrisi; lebih dari pada intake berhubungan dengan perubahan metabolisme dan ketidakmampuan intake makanan melalui oral.
9.Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan dan bedrest.
10.Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perfusi dan immobilisasi.
11.Perubahan membran mukosa mulut berhubungan dengan jalan napas buatan.
12.Gangguan pola tidur berhubungan dengan lingkungan yang kritis dan kebutuhan akan bantuan perawat.
13.Kelemahan berhubungan dengan ketergantungan dalam pemakaian alat.
14.Tidak efektifnya koping keluarga berhubungan dengan mengatasi stress dan kecemasan dalam kondisi kritis.

Perencanaan Dan Pelaksanaan
Perawatan klien dengan ARDS perencanaannya yaitu perbaikan pola napas dan kestabilan hemodinamic.
Pencegahan dengan meminimalkan komplikasi dan stressor untuk klien dan keluarganya merupakan hal yang penting.
Kriteria tujuan untuk klien:
Stabil dan sinkronnya antara pernapasan dengan ventilator dengan slow rate yang cukup dalam level yang normal ventilasi Pa CO2 35 – 45 mmHg.
PaO2 lebih dari atau sama dengan 60 mmHg, kurang dari atau sama dengan 40 % Fi O2, shunt friction kurang atau sama dengan 20 %
Jalan napas tetap.
Hemodinamic parameter (CO, BP, HR) stabil.
Tekanan maximum jalan napas 50 – 70 mmHg.
Tekanan kapiler paru normal.
Keseimbangan intake dan output.
Berat badan stabil.
Komunikasi nonverbal dapat diartikan.
Integritas kulit baik.
Membran mukosa mulut baik, utuh.

Pelaksanaan
1.Mempertahankan oksigenasi secara adekuat.
Oksigenasi jaringan secara adekuat dilakukan dengan pemberian O2 konsentrasi tinggi, untuk mempertahankan tekanan O2 arteri sekitar 20 mmHg (William, 1982)
 tingkat rasa nyaman.
®Kegagalan mempertahankan O2
Meningkatkan keperluan O2 dengan mempertahankan suhu klien pada tingkat normal, mengurangi rasa nyeri dan menjaga ketenangan klien.
Kelemahan dan penyakit respirasi merupakan indikasi untuk menggunakan ventilasi mekanic.
PEEP (Positive End Expiratory Pressure)
Digunakan untuk memberi tekanan inflasi yang tinggi.
 terpenuhinya
®Berguna untuk memenuhi kebutuhan ventilasi paru  kebutuhan ventilasi paru ditandai dengan adanya elastisitas paru dan dada.
Mempertahankan tekanan jalan napas di atas tekanan atmosfer melalui siklus respirasi.
Mempertinggi distribusi O2 ke seluruh paru-paru dengan mempertahankan expansi alveoli.
Jika keadaan ini tidak terpenuhi paru-paru akan kolaps.
Vena bercampur (mengalir dari kiri ke kanan) dan hypoxemia dikurangi.
Keefektifan dari PEEP dimonitor dengan seringnya analisa gas darah.
 alat monitor khusus (CVP, atau swan-Ganz cateter).
®Ketepatan pemeriksaan gas darah, cardiac output
PEEP kemungkinan besar menurunkan cardiac output karena lemahnya aliran  denyut nadi dan tekanan darah
®darah vena yang kembali ke jantung  harus sering dimonitor.
Kemungkinan kecenderungan terjadi retensi cairan dan edema paru selama ventilasi (intake dan output).
Perawat harus memonitor perfusi pada organ vital :
CNS :
Tingkat kesadaran
Pergerakan
Sensasi
Ginjal :
Urine output
Blood urine nitrogen (BUN)
Serum kreatinin
Myocardium :
Heart rate
Rhytm
2.Nutrisi:
 resiko terjadi malnutrisi. Karena peningkatan metabolisme dan gangguan oral intake.
®Klien dengan ARDS
 TKTP diberikan.
®
3.Individu dan family coping.
4.Pencegahan cedera paru berlanjut.
Pemberian O2, kortikosteroid.
 menurun-kan permeabilitas kapiler paru-paru.
®Untuk mengurangi peradangan dari membran alveoli
Kortikosteroid
Mungkin juga meningkatkan kontraktilitas jantung dan perfusi sirkulasi periferal serta organ-organ vital.
Pemberian albumin dan dextran dengan molekul tinggi
Mungkin juga mengurangi permeabilitas kapiler
Untuk menjaga paru tetap kering
Antibiotik
Mencegah infeksi bakteri.
Sekresi sebaiknya dihisap dengan suction sesuai kebutuhan
Posisi pasien sering diubah-ubah dan pentingnya dilakukan gerakan/latihan pasif.
Lingkungan sekitar klien harus tenang dan rileks.


Anatomi


Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, farinx, larinx trachea, bronkus, dan bronkiolus.
Hidung
Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum. Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan farinx dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Septum nasi memisahkan kedua cavum nasi. Struktur ini tipis terdiri dari tulang dan tulang rawan, sering membengkok kesatu sisi atau sisi yang lain, dan dilapisi oleh kedua sisinya dengan membran mukosa. Dinding lateral cavum nasi dibentuk oleh sebagian maxilla, palatinus, dan os. Sphenoidale. Tulang lengkung yang halus dan melekat pada dinding lateral dan menonjol ke cavum nasi adalah : (1) conchae superior (2) Media, dan (3) inferior. Tulang-tulang ini dilapisi oleh membrane mukosa.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap cavum nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.
Sinus paranasalis adalah ruang dalam tengkorak yang berhubungan melalui lubang kedalam cavum nasi, sinus ini dilapisi oleh membrana mukosa yang bersambungan dengan cavum nasi. Lubang yang membuka kedalam cavum nasi : (1) Lubang hidung (2) Sinus Sphenoidalis, diatas concha superior (3) Sinus ethmoidalis, oleh beberapa lubang diantara concha superior dan media dan diantara concha media dan inferior (4) sinus frontalis, diantara concha media dan superior (5) ductus nasolacrimalis, dibawah concha inferior.
Pada bagian belakang, cavum nasi membuka kedalam nasofaring melalui appertura nasalis posterior.

Farinx (tekak)
adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal). Orofaring adalah bagian dari faring merrupakan gabungan sistem respirasi dan pencernaan.

Laringx (tenggorok)
Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit, glandula tyroidea, dan beberapa otot kecila, dan didepan laringofaring dan bagian atas esopagus.
Laring merupakan struktur yang lengkap terdiri atas:
1. cartilago yaitu cartilago thyroidea, epiglottis, cartilago cricoidea, dan 2 cartilago arytenoidea
2. Membarana yaitu menghubungkan cartilago satu sama lain dan dengan os. Hyoideum, membrana mukosa, plika vokalis, dan otot yang bekerja pada plica vokalis
Cartilago tyroidea à berbentuk V, dengan V menonjol kedepan leher sebagai jakun. Ujung batas posterior diatas adalah cornu superior, penonjolan tempat melekatnya ligamen thyrohyoideum, dan dibawah adalah cornu yang lebih kecil tempat beratikulasi dengan bagian luar cartilago cricoidea.
Membrana Tyroide à mengubungkan batas atas dan cornu superior ke os hyoideum.
Membrana cricothyroideum à menghubungkan batas bawah dengan cartilago cricoidea.

Epiglottis
Cartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas dibelakang dasar lidah. Epiglottis ini melekat pada bagian belakang V cartilago thyroideum.
Plica aryepiglottica, berjalan kebelakang dari bagian samping epiglottis menuju cartilago arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring

Cartilago cricoidea
Cartilago berbentuk cincin signet dengan bagian yang besar dibelakang. Terletak dibawah cartilago tyroidea, dihubungkan dengan cartilago tersebut oleh membrane cricotyroidea. Cornu inferior cartilago thyroidea berartikulasi dengan cartilago tyroidea pada setiap sisi. Membrana cricottracheale menghubungkan batas bawahnya dengan cincin trachea I

Cartilago arytenoidea
Dua cartilago kecil berbentuk piramid yang terletak pada basis cartilago cricoidea. Plica vokalis pada tiap sisi melekat dibagian posterio sudut piramid yang menonjol kedepan

Membrana mukosa
Laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius, terdiri dari sel-sel silinder yang bersilia. Plica vocalis dilapisi oleh epitel skuamosa.

Plica vokalis
Plica vocalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di atas ligamenturn vocale, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam cartilago thyroidea di bagian depan dan cartilago arytenoidea di bagian belakang.
Plica vocalis palsu adalah dua lipatan. membrana mukosa tepat di atas plica vocalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalarn produksi suara.

Otot
Otot-otot kecil yang melekat pada cartilago arytenoidea, cricoidea, dan thyroidea, yang dengan kontraksi dan relaksasi dapat mendekatkan dan memisahkan plica vocalis. Otot-otot tersebut diinervasi oleh nervus cranialis X (vagus).

Respirasi
Selama respirasi tenang, plica vocalis ditahan agak berjauhan sehingga udara dapat keluar-masuk. Selama respirasi kuat, plica vocalis terpisah lebar.

Fonasi
Suara dihasilkan olch vibrasi plica vocalis selama ekspirasi. Suara yang dihasilkan dimodifikasi oleh gerakan palaturn molle, pipi, lidah, dan bibir, dan resonansi tertentu oleh sinus udara cranialis.
Gambaran klinis
Laring dapat tersumbat oleh:
(a) benda asing, misalnya gumpalan makanan, mainan kecil
(b) pembengkakan membrana mukosa, misalnya setelah mengisap uap atau pada reaksi alergi,
(c) infeksi, misalnya difteri,
(d) tumor, misalnya kanker pita suara.

Trachea atau batang tenggorok
Adalah tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan lebar 2,5 cm. trachea berjalan dari cartilago cricoidea kebawah pada bagian depan leher dan dibelakang manubrium sterni, berakhir setinggi angulus sternalis (taut manubrium dengan corpus sterni) atau sampai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 - 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.

Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping ke arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi darl arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan kelobus atas dan bawah.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.

Paru-Paru
Paru-paru terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan. Paru-paru memilki :
1. Apeks, Apeks paru meluas kedalam leher sekitar 2,5 cm diatas calvicula
2. permukaan costo vertebra, menempel pada bagian dalam dinding dada
3. permukaan mediastinal, menempel pada perikardium dan jantung.
4. dan basis. Terletak pada diafragma
paru-paru juga Dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikasi. Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa stiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas.

Suplai Darah
1. arteri pulmonalis
2. arteri bronkialis

Innervasi
1. Parasimpatis melalui nervus vagus
2. Simpatis mellaui truncus simpaticus
Sirkulasi Pulmonal
Paru-paru mempunyai 2 sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri pulmonalis. Darah di atrium kanan mengair keventrikel kanan melalui katup AV lainnya, yang disebut katup semilunaris (trikuspidalis). Darah keluar dari ventrikel kanan dan mengalir melewati katup keempat, katup pulmonalis, kedalam arteri pulmonais. Arteri pulmonais bercabang-cabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang masing-masing mengalir keparu kanan dan kiri. Di paru arteri pulmonalis bercabang-cabang berkali-kali menjadi erteriol dan kemudian kapiler. Setiap kapiler memberi perfusi kepada saluan pernapasan, melalui sebuah alveolus, semua kapiler menyatu kembali untuk menjadi venula, dan venula menjadi vena. Vena-vena menyatu untuk membentuk vena pulmonalis yang besar.
Darah mengalir di dalam vena pulmonalis kembali keatrium kiri untuk menyelesaikan siklus aliran darah. Jantung, sirkulasi sistemik, dan sirkulasi paru. Tekanan darah pulmoner sekitar 15 mmHg. Fungsi sirkulasi paru adalah karbondioksida dikeluarkan dari darah dan oksigen diserap, melalui siklus darah yang kontinyu mengelilingi sirkulasi sistemik dan par, maka suplai oksigen dan pengeluaran zat-zat sisa dapat berlangsung bagi semua sel.
FISIOLOGIS

Luas permukaan paru-paru yang luas, yang hanya dipisahkan oleh membran tipis dari sistem sirkulasi, secara teoritis mengakibatkan seseorang mudah terserang oleh masuknya benda asing (debu) dan bakteri yang masuk bersama udara inspirasi. Tetapi, saluran respirasi bagian bawah dalam keadaan normal adalah steril. Terdapat beberapa mekanisme pertahanan yang mempertahankan sterilitas ini. Kita telah mengetahui refleks menelan atau refleks muntah yang mencegah masuknya makanan atau cairan ke dalam trakea, juga kerja eskalator mukosiliaris yang menjebak debu dan bakteri kemudian memindahkannya ke kerongkongan. Selanjutnya, lapisan mukus yang mengandung faktor-faktor yang mungkin efektif sebagai pertahanan, yaitu immunoglobulin (terutama IIgA), PMNs, interferon, dan antibodi spesifik. Refleks batuk merupakan suatu mekanisme lain yang lebih kuat untuk mendorong sekresi ke atas sehingga dapat ditelan atau dikeluarkan. Makrofag alveolar merupakan pertahanan yang paling akhir dan paling penting terhadap invasi bakteri ke dalam paru-paru. Makrofag alveolar merupakan sel fagositik dengan ciri-ciri khas dapat bermigrasi dan mempunyai sifat enzimatik, Sel ini bergerak bebas pada permukaan alveolus dan meliputi serta menelan benda atau bakteri. Sesudah meliputi partikel mikroba maka enzim litik yang terdapat dalam makrofag akan membunuh dan mencernakan mikroorganisme tersebut tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang nyata.
Proses fisiologis respirasi di mana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium.
1. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru-paru.
2. Stadium ke dua, transportasi, yang terdiri dari beberapa aspek :
(1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan selsel jaringan;
(2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannVa dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan
(3) reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah.
3. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir dari respirasi. Selama respirasi ini metabolit dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan karbon dioksida terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru.

Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru karena selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus oleh kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dinding toraks berfungsi sebagai hembusan. Seiama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. M. sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan m. serratus, m. scalenus dan m. intercostalis externus berperanan mengangkat iga. Toraks membesar dalam tiga arah : anteroposterior, lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mm Hg (relatif terhadap tekanan atmosfer) menjadi sekitar -8 mm Hg bila paru-paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan saluran udara menurun sampai sekitar -2 mm Hg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0 mm Hg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer rnenyebabkan udara mengalir ke dalam paru-paru sampai tekanan saluran udara pada akhir inspirasi sama lagi dengan tekanan atmosfer.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu m. intercostalis externus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toralks, menyebabkan volume toraks berkurang, m. interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam dengan kuat pada waktu ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu otot-otot abdomen mungkin berkontraksi sehingga tekanan intra abdominal membesar dan menekan diafragma ke atas. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan iintrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat sampai sekitar I sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer sekarang terbalik sehingga udara mengalir ke luar dari paru-paru sampai tekanan saluran udara dan tekanan atmosfer sama kembali pada akhir ekspirasi. Perhatikan bahwa tekanan intrapleura selalu di bawah tekanan atmosfer selama siklus respirasi. Perubahan pada ventilasi dapat diperkirakan dengan tes fungsional paru-paru.

DIFUSI
Stadium ke dua proses respirasi mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran antara alveolus-kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5 um). Kekuatan pendorong untuk pernindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfer pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mm Hg (21 persen dari 760 mm Hg). Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai pada alveolus maka tekanan parsial ini mengalami penurunan sampai sekitar 103 mm Hg. Penurunan tekanan parsial ini diperkirakan atas dasar fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruang rugi anatomis saluran udara, dan dengan uap air. Ruang rugi anatomis ini dalam keadaan normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan (150 ml/150 lb pria). Hanya udara bersih yang sampai ke alveolus yang merupakan ventilasi efektif. Tekanan parsial oksigen dalam darah vena campuran (PV 02) dalam kapiler paru-paru besarnya sekitar 40 mm Hg. Karena tekanan parsial oksigen dalam kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (P A02 = 103 mm Hg), maka oksigen dapat dengan mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Selisih tekanan C02 antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan karbon dioksida berdifusi ke dalam alveolus. Karbon dioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, di mana konsentrasinya pada hakekatnya nol. Selisih C02 antara darah dan alveolus memang kecil sekali tapi cukup karena dapat berdifusi kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingkan dengan oksigen, melintasi membran alveolus-kapiler karena daya larutnya yang lebih besar.

HUBUNGAN VENTILASI-PERFUSI
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi dari unit pulmoner harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru-paru. Sirkulasi pulmoner yang bertekanan dan resistensi rendah mengakibatkan aliran darah di basis paru-paru lebih besar daripada di bagian apeks paru-paru, disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Tetapi ventilasinya cukup merata. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0,13. Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4 liter/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5 liter/menit). keadaan normal dari ventilasi dan perfusi paru-paru yang seimbang mendekati nilai 0,8.
Kebanyakan penyakit respirasi mengalami ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi. Akibatnya ventiIasi terbuang sia-sia (V/Q = tak terhingga). Unit respirasi abnormal yang ke dua merupakan shunt unit, di mana tak ada ventilasi, tetapi perfusi normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia (V/Q = 0). Unit yang terakhir merupakan unit diam, di mana tidak ada ventilasi dan perfusi. Tentu saja terdapat variasi-variasi di antara ke tiga kasus ekstrim tersebut, tergantung dari keseimbangan secara menyeluruh antara ventilasi dan perfusi paru-paru. Penyakit paru-paru dan gangguan fungsional respirasi dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai dengan jenis penyakit yang dialami, apakah menimbulkan shunt yang besar (V/Q ( 0,8)
TRANSPOR OKSIGEN DALAM DARAH
Oksigen dapat ditranspor dari paru-paru ke jaringan melalui dua jalan :
1. secara fisik larut dalam plasma atau
2. secara kimia berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin (HbO2).
ikatan kimia oksigen dan hemoglobin ini bersifat reversibel. Jumlah sungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinear dengan PaO2 (tekanan parsial oksigen dalam darah arteri), yang ditentukan oleh jumlah oksigen yang secara fisik larut dalam plasma darah. Sebaliknya, jumlah oksigen yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam alveolus (PAO2). Kecuali itu juga tergantung dari daya larut oksigen dalam plasma. Jumlah oksigen yang dalam keadaan normal larut secara fisik sangat kecil karena daya larut oksigen dalam plasma yang rendah. hanya sekitar satu persen dari jumlah oksigen total ang ditranspor ke jaringan-jaringan ditranspor dengan cara ini. Cara transpor seperti ini tidak mempertahankan hidup walaupun dalam keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar oksigen diangkut oleh hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya : keracunan karbon monoksida atau hemolisis masif di mana terjadi insufisiensi hemoglobin maka oksigen yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat ditranspor dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan oksigen dengan tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfir (ruang oksigen hiperbarik).
Satu gram hemoglobin dapat berikatan dengan 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah pada pria dewasa besarnya sekitair 15gr per 100 ml, maka 100 ml darah dapat mengangkut (15 x 1,34 = 20,1) 20,1 ml oksigen kalau darah jenuh sekali (SaO2 = 100 persen). Tetapi darah yang sudah teroksigenisasi dan meninggalkan kapiler paru-paru mendapatkan sedikit tambahan darah vena yang merupakan darah campuran, dari sirkulasi bronkial. Proses pengenceran ini yang menjadi penyebab sehingga darah yang meninggalkan paru-paru hanya jenuh 97 persen, dan 19,5 persen volume diangkut ke jaringan. Pada tingkat jaringan, oksigen mengalami disosiasi dari hemoglobin dan berdifusi ke dalam plasma.
Dari plasma oksigen masuk ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan-jaringan yang bersangkutan. Meskipun sekitar 75 persen dari hemoglobin masih berikatan dengan oksigen pada waktu hemoglobin kembali ke paru-paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi sesungguhnya hanya sekitar 25 psersen oksigen dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hemoglobin yang melepaskan oksigen pada tingkat jaringan disebut hemoglobin tereduksi (Hb). Hemoglobin tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, seperti yang kita lihat pada vena superfisial, misainya : pada tangan. Sedangkan oksihemoglobin (hemoglobin yang berikatan dengan oksigen) berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri.

Kurva disosiasi oksihemoglobin
Untuk dapat memahami proses respirasi dengan jelas maka harus diketahui afinitas oksigen terhadap hemoglobin karena suplai oksigen untuk jaringan dan pengambilan oksigen oleh paru-paru sangat tergantung pada hubungan tersebut. Pengetahuan ini sangat diperlukan untuk menyatakan ukuran gas secara tepat dan untuk melakukan tindakan-tindakan terapi pada insufisiensi respirasi. Kalau darah lengkap dikenai oleh berbagai tekanan parsial oksigen dan persentase kejenuhan hemoglobin diukur, maka didapatkan kurva berbentuk huruf S bila ke dua pengukuran tersebut digabungkan. Kurva ini dikenal dengan nama kurva disosiasi oksihemoglobin dan menyatakan afinitas hemoglobin terhadap oksigen pada berbagai tekanan parsial. Dalam keadaan suhu tubuh yang normal (98,60F) dan pH darah 7,4.
Kurva ini mempunyai satu fakta fisiologis yang perlu diperhatikan yaitu, adanya bagian yang datar. Pada bagian atas kurva yang dikenal dengan nama bagian arteria (A) dan bagian vena (V) pada bagian bawah yang lebih curam, yang agak tergeser ke kanan. Pada kurva bagian atas yang datar, perubahan yang besar pada tekanan oksigen dikaitkan dengan sedikit perubahan pada kejenuhan oksihemoglobin. Ini menyatakan bahwa jumlah oksigen yang relatif konstan dapat disuplai ke jaringan-jaringan walaupun pada ketinggian yang tinggi di mana P02 mungkin sebesar 60 mmHg atau kurang. Ini juga menyatakan bahwa pemberian oksigen dalam konsentrasi tinggi (udara normal = 21 persen) pada pasien-pasien yang menderita hipoksemia ringan. (Pa02 60-75 mmHg) adalah sia-sia, karena oksihemoglobin hanya dapat ditingkatkan sedikit sekali. Sesungguhnya, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat meracuni jaringin paru-paru dan menimbulkan efek yang merugikan. pelepasan oksigen ke jaringan-jaringan dapat ditingkatkan oleh hubungan P02 terhadap kejenuhan okigen pada kurva bagian vena yang curam. Pada bagian ini perubahan-perubahan besar pada kejenuhan oksihemoglobin berkaitan dengan sedikit perubahan 02.
Afinitas oksigen terhadap hemoglobin dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang menyertai metabolisme jaringan dan dapat diubah oleh penyakit. Kurva oksihemoglobin tergeser ke kanan apabila PH darah menurun atau PC02 meningkat. dalam keadaan ini, pada P02 tertentu afinitas hemoglobin terhadap oksigen berkurang sehingga oksigen dapat ditranspor oleh darah berkurang. Keadaan patologis yang dapat menybabkan asidosis metabollk, seperti syok (pembentukan asam laktat berlebihan akibat metabolis-anerobik) atau retensi karbon dioksida akan menyebabkan pergeseran kurva kekanan. Pergeseran kurva sedikit kekanan akan membantu pelepasan oksigen kejaringan-jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama efek bohr. Sedikit peningkatan keasaman akibat pelepasan karbondioksida dari jaringan. Faktor lain yang menyebabkan pergeseran kurva kekanan adalah peningkatan suhu dan 2,3 difosfogliserat (2,3-DPG) yang merupakan fosfat organik dalam sel darah merah yang mengikat Hb dan mengurangi afinitas Hb terhadap oksigen pada anemia dan hipoksemia kronik 2,3-DPG sel darah merah meningkat. Perlu diketahui adanya kenyataan bahwa; meskipun kemampuan transpor oksigen oleh hemoglobin menurun bila kurva bergeser ke kanan, kemampuan hemoglobin untuk melepaskan oksigen ke jaringan-jaringan dipermudah. Karena itu, pada anemia dan hipoksemia kronik pergeseran kurva ke kanan merupakan proses kompensasi.
Pergeseran kurva ke kanan disertai kenaikan suhu, menggambarkan peningkatan metabolisme sel dan peningkatan kebutuhan akan oksigen, juga dapat menyesuaikan diri dan untuk aliran darah tertentu menyebabkan semakin banyaknya oksigen yaiag dilepaskan ke jaringan-jaringan.

Sebaliknya, peningkatan PH darah (alkalosis) atau penurunan PCO2, suhu dan 2 3-DPG akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri. Pergeseran ke kiri menyebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Akibatnya uptake oksigen dalam paru-paru meningkat apabila terjadi pergeseran ke kiri, tetapi pelepasan oksigen ke jaringan-jaringan terganggu. Karena itu secara teoritis mungkin akan terjadi hipoksia (insufisiensi oksigen jaringan guna memenuhi kebutuhan metabolisme pada keadaan alkalosis yang berat, terutama apabila disertai dengan hipoksemia. Keadaan ini dapat terjadi selama proses mekanisme overventilasi dengan respiratori atau pada tempat yang tinggi akibat hiperventilasi. Karena hiperventilasi juga dapat menurunkan-aiiran darah serebral karena penurunan PaC02, maka iskemia serebral juga sering menimbulkan gejala-geiala seakan-akan kepalanya ringan. Darah yang disimpan kehilangan aktivitas 2,3-DPG sehingga afinitas hemoglobin terhadap oksigen meningkat. Karena itu, pasien yang diberi transfusi darah simpanan dalam jumlah banyak mungkin akan mengalami gangguan pelepasan oksigen ke jaringan -jaringan karena pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri.
Afinitas hemoglobin didefinisikan secara populer dengan P02 yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejenuhan 50 persen, dan mudah diukur dalarn laboratorium modern. Dalam keadaan normal P50 sekitar 27 mm Hg. Terbukti bahwa bila kurva disosiasi bergeser ke kanan (pengurangan afinitas hemoglobin terhadap oksigen) maka P50 akan meningkat, sedangkan pada pergeseran kurva ke kiri (peningkatan afinits hemoglobin terhadap oksigen p50 akan turun.
Karbon monoksida mempunyai afinitas terhadap hemoglobin sekitar 250 kali lebih besar darp pada afinitas oksigen terhadap hemoglobin. Kalau carbonmonoksida dihirup maka akan berkaitan dengan karboksihemoglobin, maka reaksi tersebut tidak reversibel. Sehingga jumlah hemoglobin yang tersedia untuk transport oksigen berkurang.

TRANSPORT KARBON DIOKSIDA DALAM DARAH
Transport CO2 dari jaringan keparu-paru melalui tiga cara sebagai berikut:
1. Secara fisk larut dalam plasma (10 %)
2. Berikatan dengan gugus amino pada Hb dalam sel darah merah (20%)
3. ditransport sebagai bikarbonat plasma (70%)
Karbon dioksida berikatan dengan air dengan reaksi seperti dibawah ini:
CO2 + H2O = H2CO3 = H+ +HCO3-
Reaksi ini reversibel dan dikenal dengan nama persamaan dapa asam bikarbonat-asam karbonik. Hiperventilasi adalah ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme berlebihan à alkalosis sebagai akibat eksresi CO2 berlebihan keparu-paru. Hipoventilasi adalah ventilasi alveoli yang tak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme, sebagai akibat dari retensi CO2 oleh paru-paru.

PENGATURAN RESPIRASI
Respirasi diatur/dikontrol di:
1. Medulla Oblongata
2. Pons

Secara garis besar bahwa Paru-paru memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Terdapat permukaan gas-gas yaitu mengalirkan Oksigen dari udara atmosfer kedarah vena dan mengeluarkan gas carbondioksida dari alveoli keudara atmosfer.
2. Menyaring bahan beracun dari sirkulasi
3. Reservoir darah
4. Fungsi utamanya adalah pertukaran gas-gas
Berikut ini adalah gambar anatomi paru-paru: